Meneguhkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai Landasan produktivitas

10 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Menggugat Efektivitas Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja bagi Pekerja Sektor Informal: Antara Kenyataan dan Harapan
Iklan

***

Wacana ini ditulis oleh Sila Tsabita Zahra, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Nadia Saphira, Amanda Aulia Putri, Naysila Prasetio, Winda Yulia Gitania Br Sembiring, dan Annisa Br  Bangun dari IKM 5 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Dalam sebuah wawancara mendalam dengan sejumlah pekerja di berbagai sektor industri, banyak yang mengungkapkan bahwa pengalaman sehari-hari di tempat kerja sering kali menghadirkan dilema antara produktivitas dan keselamatan. Salah seorang responden mengungkapkan bahwa “meskipun perusahaan menyediakan alat pelindung diri, tetap saja risiko cedera tetap mengintai jika kita lengah atau prosedur tidak dijalankan dengan konsisten.” Pengalaman ini menggambarkan secara nyata bagaimana Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) tidak hanya menjadi formalitas hukum, tetapi juga kebutuhan strategis untuk menjaga kesejahteraan pekerja sekaligus kelangsungan produktivitas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan upaya sistematis untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat, dengan tujuan menurunkan probabilitas terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kelalaian. Sesuai Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960 Bab I Pasal 2, kesehatan kerja didefinisikan sebagai kondisi yang memungkinkan pekerja mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik, mental, maupun sosial, melalui pencegahan dan pengobatan penyakit yang muncul akibat pekerjaan maupun lingkungan kerja. Dengan kata lain, K3 mencakup perlindungan terhadap kesehatan fisik, psikologis, dan sosial pekerja dari faktor risiko pekerjaan, termasuk paparan bahan kimia, kebisingan, serta kondisi kerja yang tidak ergonomis, sekaligus memastikan keselamatan dari cedera fisik, patah tulang, atau kecelakaan lainnya.

Implementasi K3 menuntut beberapa elemen krusial. Penggunaan alat pelindung diri, seperti helm, rompi, atau sarung tangan, menjadi garis pertahanan pertama melawan bahaya fisik di lingkungan kerja. Di samping itu, pengendalian bahaya menjadi aspek penting, termasuk identifikasi faktor risiko fisik, kimia, biologis, dan psikososial, yang jika tidak dikelola dapat memicu kecelakaan atau penyakit. Pemeriksaan kesehatan secara berkala, promosi kesehatan, serta pelatihan dan edukasi pekerja mengenai prosedur keselamatan menjadi bagian integral dari sistem K3 yang efektif (Budiono dkk., 2003).

Kecelakaan kerja tetap menjadi fenomena yang signifikan di berbagai sektor. Insiden seperti tertimpa objek di pabrik, terpeleset di permukaan licin, atau cedera akibat benda tajam, bahkan kecelakaan lalu lintas saat perjalanan menuju dan dari tempat kerja, menunjukkan kerentanan pekerja dalam konteks aktivitas sehari-hari. Berdasarkan laporan data nasional, pada Januari hingga Desember 2024 tercatat 462.241 kasus kecelakaan kerja di Indonesia, dengan mayoritas 91,65% terjadi pada peserta penerima upah, sedangkan 7,43% bukan penerima upah, dan 0,92% peserta jasa konstruksi. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 370.747 kasus, di mana 93,83% melibatkan peserta penerima upah (Kementerian Ketenagakerjaan RI, 2024). Data ini menegaskan bahwa perlindungan K3 bukan hanya formalitas, tetapi kebutuhan nyata yang memengaruhi kesejahteraan pekerja.

Faktor yang memengaruhi K3 beragam. Beban kerja yang tinggi, kapasitas kerja individu yang berbeda berdasarkan tingkat pendidikan, keterampilan, kebugaran jasmani, dan kondisi gizi, serta lingkungan kerja fisik dan psikososial yang menantang dapat meningkatkan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Selain itu, pengabaian terhadap prosedur keselamatan, misalnya saat bekerja di ketinggian tanpa mengikuti protokol, dapat memperbesar kemungkinan terjadinya cedera (Sutrisno & Ruswandi, 2007). Prinsip-prinsip dasar K3, seperti tersedianya alat pelindung, buku petunjuk penggunaan alat, pembagian tugas yang jelas, fasilitas kerja aman sesuai standar SSLK, sarana kesehatan jasmani dan rohani, serta edukasi dan pelatihan yang berkelanjutan, menjadi fondasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan produktif.

Penerapan K3 yang konsisten bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi merupakan investasi strategis bagi perusahaan. Pegawai yang terlindungi dari risiko kesehatan dan cedera akan mampu bekerja dengan optimal, menjaga motivasi, serta memberikan kontribusi maksimal terhadap output perusahaan. Sebaliknya, kelalaian terhadap K3 tidak hanya meningkatkan risiko cedera dan penyakit, tetapi juga menurunkan efisiensi kerja, menimbulkan kerugian finansial, dan berdampak pada moral tenaga kerja. Dengan demikian, K3 dapat dipahami sebagai instrumen dialektis yang menyatukan kepentingan pekerja dan perusahaan: keselamatan pekerja menjadi jaminan keberlanjutan bisnis, dan produktivitas perusahaan menjadi indikator keberhasilan implementasi K3.

Dengan meningkatnya kesadaran dan implementasi K3 yang komprehensif, diharapkan pekerja dapat merasakan manfaat langsung berupa kesehatan yang terjaga, risiko kecelakaan berkurang, dan kualitas hidup kerja meningkat. Pada gilirannya, perusahaan memperoleh keuntungan jangka panjang melalui produktivitas yang stabil dan lingkungan kerja yang kondusif. Kesehatan dan Keselamatan Kerja, dalam perspektif ini, bukan hanya regulasi atau prosedur teknis, tetapi manifestasi dari tanggung jawab sosial dan etika profesional yang berkelanjutan, yang menjembatani kesejahteraan individu dan pertumbuhan organisasi secara harmonis.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler